Minggu, 02 Maret 2014

Mengawal RUU Penyiaran Yang Berpihak ke Publik dan Komunitas

RUU Penyiaran yang sekarang sedang dalam pembahasan adalah inisiatif DPR dan diniatkan merevisi UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang masih menganut cara pandang pengaturan penyiaran menggunakan teknologi analog. Padahal perubahan teknologi komunikasi yang kian cepat sekarang ini, salah satunya teknologi digital membutuhkan model pengaturan kebijakan penyiaran dengan cara baru. Penyiaran dengan teknologi analog dianggap ketinggalan jaman.

Isu teknologi ini sering mengemuka dalam pembahasan revisi UU Penyiaran ada yang berkaitan dengan penyiaran digital ada juga berkaitan dengan konvergensi media, misalnya konvergensi penyiaran publik yakni RRI dan TVRI menjadi RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia).

Menurut informasi dari komisi 1 DPR RI bahwa pembahasan RUU penyiaran akan diselesaikan dalam masa persidangan tahun 2013 ini, namun jika mencermati DIM (Daftar Inventaris Masalah) dari Pemerintah yang dikirim bulan Mei 2013 ke DPR RI isinya sangat mengkhawatirkan demokratisasi penyiaran. Isinya cenderung mengembalikan urusan penyiaran di tangan pemerintah.

Dalam DIM versi pemerintah tersebut ada beberapa hal yang patut kita sikapi serius, ada 6 poin penting yang harus jadi catatan, antara lain: (1) Alokasi Frekuensi tidak di atur (2) LPK tidak boleh siaran Jaringan & tidak boleh iklan lokal (3) KPI di bubarkan dan akan di bentuk KPIS (Komisi Pengawas Isi Siaran) (4) LPP di bentuk Pemerintah (5) Digitalisasi mengarah pada swastanisasi dan tidak mengakui keberadaan penyiaran komunitas (6) perizinan penyiaran komunitas yang proses-nya panjang.

Poin pertama, berkaitan dengan alokasi frekuensi yang tidak di atur artinya tidak jelasnya frekuensi yang disediakan untuk penyiaran komunitas. Praktik pengaturan frekuensi ini selalu berpihak pada penyiaran swasta untuk penyiaran komunitas dianak-tirikan. Lebih parah lagi untuk tv komunitas tidak pernah mendapat jatah alokasi frekuensi. Pengaturan alokasi frekuensi ini menjadi penting karena bagian dari kepastian penyiaran komunitas untuk mendapat alokasi frekuensi.

JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) dengan tegas meminta alokasi frekuensi untuk penyiaran komunitas itu 20% dari total alokasi frekuensi penyiaran. Cara bagi ini di dasari asumsi sisa 80% alokasi frekuensi untuk publik dan swasta.

Poin kedua, LPK (Lembaga Penyiaran Komunitas) tidak boleh siaran jaringan & tidak boleh beriklan lokal artinya penyiaran komunitas tidak boleh menyuarakan kepentingannya lebih luas dan tidak boleh mendukung perkembangan ekonomi komunitasnya.

Pentingnya siaran jaringan bagi penyiaran komunitas untuk memastikan suara dari komunitas, desa atau kecamatan seperti jalan rusak, dll. Bisa didengarkan oleh pengambil kebijakan diberbagai macam level. Informasi yang disuarakan oleh komunitas bisa berdampak karena penggambil kebijakan ada di tingkat kabupaten, provinsi, malah nasional.

LPK tidak boleh beriklan lokal sama artinya lembaga penyiaran komunitas ini dibiarkan mati. Lebih jauh dari itu membiarkan ekonomi lokal tidak tumbuh atau sengaja tidak boleh tumbuh untuk menopang keberlanjutan komunitas dan lembaga penyiaran komunitasnya.

Poin ketiga, berkaitan dengan usulan pemerintah untuk membubarkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sebagai lembaga Negara Independen yang mengurus dan mengawasi penyiaran Indonesia dijadikan KPIS (Komisi Pengawas Isi Siaran) tugas dan peran nya hanya sekedar mengawasi isi siaran saja.

Poin keempat, tentang LPP (Lembaga Penyiaran Publik) dibentuk oleh pemerintah. Hal ini mengingatkan pada masa orde baru bahwa segala urusan penyiaran di tangan pemerintah. Kalau dibiarkan akan menjadi otoritarian baru, penyiaran hanya untuk kepentingan pemerintah. Padahal fungsi penyiaran publik yang utama adalah layanan terhadap kepentingan publik yang juga warga negara bukan semata pemerintah.

Poin kelima, pemberlakuan penyiaran digital yang arahnya hanya pada kepentingan industri semata melupakan kepentingan warga secara luas. Tidak diakuinya penyiaran komunitas dalam penyiaran digital, meberi tanda bahwa tidak ada kepedulian terhadap penyiaran komunitas untuk terlibat dalam penyiaran digital.

Kalau model pembagian frekuensi digital diserahkan pada swasta saja kita dengan mudah bisa membaca masa depan penyiaran Indonesia yang cenderung mengejar kepentingan profit semata melupakan layanan dasar warga negara yang punya hak untuk mendapat, mengelola informasi secara sehat dan benar dalam era digital lewat penyiaran komunitas.

Poin keenam, berkaitan dengan izin penyiaran komunitas. Selama ini proses perizinan penyiaran komunitas sangat ribet dan panjang proses-nya. Mulai dari pendaftaran perizinan, perifikasi administrasi, evaluasi dengar pendapat, rekomendasi kelayakan di tingkat provinsi. Kemudian dilanjutkan ke tingkat pusat (KPI Pusat dan Kemenkominfo) dalam Forum Rapat Bersama (FRB) setelah itu baru dapat IPP sementara, setelah itu yang mendapat IPP harus mengurus sertifikasi perangkat yang mahal untuk mendapat ISR, setelah keluar ISR baru dapat IPP tetap. Intinya, perizinan penyiaran komunitas diproses di Jakarta semua. Hal ini selain biaya mahal proses nya juga mahal.

Kedepan perizinan untuk penyiaran komunitas itu harus berpegang pada prinsip mudah dan murah. Artinya untuk perizinan penyiaran komunitas bisa diberikan di tingkat provinsi bukan di pusat dan proses-nya bisa lebih mudah tidak ribet seperti sekarang ini.

Situasi Penyiaran Sekarang dan Kepentingan Publik
Membaca situasi penyiaran kini dan niat pemerintah dalam mengatur penyiaran di Indonesia lewat DIM yang disampaikan ke DPR RI jadi teringat teori triangulasi kepentingan, yakni kepentingan politik, kepentingan pasar, dan kepentingan publik, penyiaran kita saat ini telah sedemikian jauh di kuasai oleh kepentingan pasar dengan didukung oleh birokrasi Negara dan kepentingan politik sehingga merugikan kepentingan publik.

Amir Effendi Siregar, dalam sebuah tulisannya menyebutkan indikator kehidupan media dan komunikasi yang demokratis adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kemerdekaan berbicara (freedom of speech) dan kemerdekaan pers (freedom of the press). Namun sebenarnya, jaminan atas tiga hal ini saja tidak cukup, perlu ada jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content dan diversity of ownership. Jaminan terhadap diversity itu menuntut dan memerlukan pelaksanaan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan penghargaan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan penghargaan terhadap minoritas. Tanpa adanya jaminan terhadap diversity ini maka dapat terjadi lahirnya otoritarianisme baru, otoritarianisme capital, monopoli dan oligopoly oleh segelintir orang atas nama freedom, dan dengan sendirinya akan membunuh demokrasi.

Sejarah singkat subtansi perubahan UU Penyiaran di Indonesia

UU Penyiaran No 32 tahun 2002 adalah hasil revisi total UU No. 24/1997. Setidaknya ada beberapa gagasan yang melandasi desakan untuk revisi terhadap UU produk detik-detik terakhir jaman Orde Baru tersebut:
1. Dalam UU tersebut posisi pemerintah dan pemodal sangat dominan ketimbang posisi publik sehingga dalam prakteknya sistem penyiaran sangat otoriter.
2. Bubarnya Departemen Penerangan selaku lembaga regulator penyiaran versi UU No. 24/1997. Ketika itu Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Perubahan kelembagaan tatanegara ini menyebabkan kehidupan media penyiaran di Indonesia tidak memiliki kepastian hukum (lawless) sehingga perlu kebijakan baru.
3. Terjadinya pergeseran konfigurasi kekuatan ekonomi dan politik pasca Orde Baru. Pergeseran itu memiliki 3 karakter, yaitu: Anti produk apapun peninggalan rezim Or-Ba, Munculnya gerakan demokratisasi media penyiaran, dan ambisi kekuatan pemodal dalam dan luar negeri menerapkan sistem ekonomi pasar.
4. Beberapa pasal yang dinilai otoriter dalam UU No. 24/1997, antara lain pasal 7 yang menyatakan penyiaran dikuasai negara, pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah dan di dampingi sebuah lembaga yang diberi nama BP3N (Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional).

Waktu itu, koalisi masyarakat sipil dan para penggiat media memandang pentingnya merevisi UU No. 24/1997 didasarkan pada 4 hal:
1. UU tersebut dianggap otoriter karena menempatkan pemerintah sebagai regulator yang sangat berkuasa.
2. Bertentangan dengan TAP MPR no. XVII/MPR/1998 tentang HAM, khusunya ketentuan dalam BAB VI tentang hak atas kebebasan informasi.
3. Terdapat banyak pembatasan: pasal yang diatur lagi dengan PP yang belum jelas. Aturan-nya tergantung pada keinginan pemerintah.
4. Peraturan yang membagi 2 bentuk lembaga penyiaran yaitu lembaga penyiaran pemerintah dan swasta sudah tidak sesuai dengan kehidupan bernegara.
Landasan pentingnya merevisi UU No. 24/1997 tersebut melahirkan model dan sistem penyiaran Indonesia yang dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2002. Dalam pandangan masyarakat sipil waktu ini UU tersebut walaupun belum ideal tapi sudah bagus karena adanya pengakuan terhadap penyiaran komunitas dan adanya Lembaga Negara independen yakni KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia). Selain itu sistem penyiaran menjadi lokal tidak ada lagi penyiaran nasional dengan adanya aturan siaran berjaringan.
Stasiun berjaringn yang seyogianya telah dilaksanakan 2 tahun setelah UU Penyiaran di sahkan oleh DPR RI tahun 2002 tidak bisa berjalan. Kemudian dibuatlah masa transisi selama 5 tahun untuk menerapkan sistem siaran berjaringan ini. Artinya tahun 2009 penyiaran berjaringan ini harus sudah berjalan. Tapi hingga sekarang ternyata tidak dilaksanakan secara baik, yaitu belum melibatkan kepemilikan lokal dan isi lokal secara memadai. Bahkan, telah terjadi multitafsir dan tafsir yang keliru terhadap undang-undang ini sehingga satu badan hukum menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran di satu daerah.
Pelaksanaan dan penerapan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 setelah berjalan 10 tahun belum bisa berjalan normal sekarang sudah direvisi lagi. Maka dalam revisi ini penting adanya pengawalan untuk memastikan penyiaran komunitas dan publik bisa hidup sehat dalam sistem penyiaran Indonesia.
Strategi Advokasi dan Literasi
Untuk mengawal RUU Penyiaran yang sekarang sudah masuk tahap pembahasan DIM antara Pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo dan Panja Penyiaran Komisi 1 DPR RI diperlukan dua strategi yakni startegi Advokasi dan strategi literasi.

Strategi Advokasi ini tujuan utamanya adalah memastikan pasal-pasal yang jelas dan tegas tentang perlindungan publik dan hidupnya penyiaran komunitas. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah: (1) Melakukan konsolidasi basis massa dengan pelaku penyiaran komunitas. Asosiasi-asosiasi radio komunitas dan tv komunitas serta media komunitas lainnya berkumpul bersama dan bersuara bersama. (2) Memperkuat koalisi untuk mengawal revisi RUU Penyiaran ini. (3) Membangun koalisi baru dengan lembaga atau organisasi masyarakat lain diluar media untuk menegaskan bahwa urusan penyiaran ini adalah urusan semua orang. (4) Melakukan audiensi ke komisi 1 DPR RI (5) Mengkampanyekan surat dukungan dari semua lembaga penyiaran komunitas, ormas, ngo. (6) menggunakan sosial media untuk meresonansi kampanye, (7) dan lain-lain.

Strategi Literasi ini tujuan utamanya adalah membangun kesadaran dan pemahaman publik terhadap isu penyiaran. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah: (1) Menyusun subtansi pentingnya penyiaran komunitas dan sistem penyiaran Indonesia yang demokratis. (2) Konten RUU Penyiaran dikomunikasikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti (3) konten dan subtansi yang dirumuskan disebarkan ke publik melalui radio komunitas, dan media komunitas lain nya. (4) pendidikan dan pelatihan tentang media literasi (5) Mengkampanyekan subtansi RUU Penyiaran ke Kampus-kampus ( mengajak keterlibatan kampus dalam pembahaan RUU Penyiaran).

Mungkin masih banyak cara lain untuk mengawal RUU Penyiaran ini dengan banyak kreatifitas. Catatan di atas hanya salahsatunya saja. Yakinlah, bahwa penyiaran komunitas bikin rakyat jadi cerdas!

Salam, Udara Milik Kita
www.suarakomuntas.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar