Menopang Ekonomi, Menjaga Ekosistem
Oleh: Basri Andang
Sepintas lalu kampung Liku Dengen tidak ubahnya dengan kampung lainnya. Jauh dari pusat kota, jalanannya masih tanah, dan becek bercampur lumpur saat hujan.
Yang membedakannya adalah, begitu sampai di kampung, terilhat kotak-kotak kayu menggantung di samping-samping rumah. Bagaikan hiasan lampion, tapi jangan salah, isinya bukan lampu. Kotak-kotak itu berisi koloni lebah madu trigona. ***
‘’Liku Dengen’’. Begitulah nama salah satu kampung tua yang berada di Dusun Kampung Baru Desa Uraso Kecamatan Mappideceng Kabupaten Luwu Utara. Dinamai Liku Dengen karena dulunya banyak ditumbuhi pohon ‘Dengen’ yang buahnya berwarna kuning berasa kecut, dan terdapat sungai yang dalam dan berkelok-kelok, bahasa lokalnya disebut ‘Liku’. Saat ini pohon dengen dan kelokan-kelokan sungai itu masih bisa disaksikan. Sebanyak 68 KK tercatat di sana yang secara asal-usul berasal dari rumpun To Tabang.
Di kampung Liku Dengen dapat dijumpai pengembangan usaha lebah madu ‘’Model Barak’’. Barak lebah ini sejenis bangunan rumah yang tidak berdinding, hanya ada tiang, papan alas yang memanjang , dan beratap anyaman daun sagu. Papan inilah dijadikan alas atau dudukan kotak-kotak lebah. Dalam satu barak berisi sedikitnya ada 20 kotak lebah.
Khusus di Liku Dengen, sudah 2 barak pemeliharaan lebah yang dibangun warga sesuai dengan jumlah kelompok peternak lebah trigona, yaitu kelompok Mitra Baru dan Kelompok Mekar. Masing-masing kelompok memiliki 1 barak. Itu khusus milik kelompok, selain itu, setiap warga juga memelihara untuk usaha sendiri. Paling sedikit, satu KK memiliki 10 kotak, bahkan beberapa KK mempunyai puluhan kotak lebah.
‘’Semua hasil panenan madu yang ada di barak itu diperuntukkan bagi kelompok. Sedangkan untuk usaha sendiri, masing-masing warga juga memelihara sendiri di rumahnya,’’ jelas Kepala Kampung Baru, Akis Nuru. Menurutnya, malah hasil panen madu usaha perorangan ini jauh lebih besar daripada hasil panen yang dikelola kelompok.
Setahun lebih warga menggeluti usaha lebah madu sebagai penopang ekonomi keluarga. Paling tidak, setiap kotak bisa menghasilkan 2-4 botol setiap kali panen. Harga perbotol (ukuran botol sirup ABC) Rp 40 ribu rupiah. Harga yang masih terbilang murah itu, sedikit mengganggu panenan madu. Mereka mau harga dinaikkan jadi Rp 60 ribu rupiah perkilogram.
Meski masa panen antara 3 bulan sampai 6 bulan, tetapi masa panen bisa saja dilakukan setiap bulan. Caranya, memasang kotak koloni secara bertahap setiap bulan. Misalnya, kalau memiliki 300 kotak, maka bisa diatur setiap bulan dipasang 100 kotak. Di bulan pertama 100 kotak, begitu selanjutnya, memasang 100 kotak di bulan kedua dan ketiga. Sehingga pada bulan keempat, sudah bisa memanen madu dari 100 kotak yang dipasang pada bulan pertama tadi. Begitu seterusnya. Menurut Akis Nuru, sudah ada warganya yang melakukan cara itu, dan kini kalkulasi berpenghasilannya sekitar Rp 4-5 juta-an perbulan dari usaha lebah madu trigona.
Keunggulan budidaya lebah ini karena tidak menyegat seperti lebah yang biasanya. Dalam ilmu zoologi lebah trigona termasuk Famili Meliponidae, salah satu spesies lebah penghasil madu. Pemanenan madunya tidak mengenal musim. Kerjanya pun terbilang mudah karena tidak butuh perawatan ekstra. Cukup memasukkan koloni dalam kotak, kemudian kotak tersebut digantung di samping-samping rumah.
Tahun 2014 ini, beberapa kampung di sekitar Liku Dengen menyatakan berminat untuk mengembangkan juga usaha madu lebah trigona, seperti Kampung Tuwu dan Kampung Katimbangan. Rencananya, tanggal 17 Februari 2014 lalu, bersama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Luwu Utara, akan memfasilitasi pembentukan satu kelompok lagi di Kampung Tuwu.
Dari aspek kelestarian ekologis, pemeliharaan lebah madu trigona berpengaruh penting bagi pemeliharaan hutan yang ada di sekitarnya. Keberlangsungan usaha lebah madu trigona akan bergantung pada ketersediaan bahan makanan lebah yang ada di dalam hutan. Kerusakan ekosistem hutan akan mempengaruhi menurunnya produksi madu. Sehingga secara langsung, budidaya lebah madu ini sangat berkontribusi menjaga dan melestarikan hutan. Ini bisa menjadi jaminan akan terpeliharanya tutupan hutan di Desa Uraso yang luasnya sekitar 396,50 hektar. ‘’Kalau hutan rusak maka akan kesulitan juga bagi warga untuk memperoleh koloni lebah yang umumnya hanya ada di dalam hutan,’’ tegas Kepala Kampung Baru Desa Uraso, Akis Nuru.
Hasil hutan yang cukup potensial, tidak membuat mereka harus mengeksploitasinya dengan serampangan karena komunitas To Tabang masih memegang aturan lokal yang melindungi hutan sebagai sumber kehidupan. Mengganggu hutan berarti mengganggu kehidupan mereka sendiri. Mereka terdorong mengembangkan usaha hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, sagu, dan bambu. Selain itu, mereka juga melakukan pemanfaatan pekarangan dan lahan dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, seperti lada. Dimulai dari beberapa orang sebagai pionir yang kini sudah memanen, selanjutnya dilakukan pemassalan dengan penanaman 1.500 bibit lada, selain tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan di pekarangan.
Yang menarik jadi pembelajaran dari Kampung Liku Dengen, Tuwu, dan Katimbangan adalah proses pembangunan kampung yang dilengkapi dengan Master Plan Kampung, dimana perumusan dan penyusunannya dilakukan oleh warga kampung. Dari dokumen itulah, mereka mengembangkan kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah membangun kampung berdasarkan cita-cita Master Plan Kampung yaitu, “Wanua Mappatuo Naewai Alena” atau ‘’Kampung yang Memberikan Kehidupan dan Mampu Mengatur Diri Sendiri.’’ Semoga!
Oleh: Basri Andang
Sepintas lalu kampung Liku Dengen tidak ubahnya dengan kampung lainnya. Jauh dari pusat kota, jalanannya masih tanah, dan becek bercampur lumpur saat hujan.
Yang membedakannya adalah, begitu sampai di kampung, terilhat kotak-kotak kayu menggantung di samping-samping rumah. Bagaikan hiasan lampion, tapi jangan salah, isinya bukan lampu. Kotak-kotak itu berisi koloni lebah madu trigona. ***
‘’Liku Dengen’’. Begitulah nama salah satu kampung tua yang berada di Dusun Kampung Baru Desa Uraso Kecamatan Mappideceng Kabupaten Luwu Utara. Dinamai Liku Dengen karena dulunya banyak ditumbuhi pohon ‘Dengen’ yang buahnya berwarna kuning berasa kecut, dan terdapat sungai yang dalam dan berkelok-kelok, bahasa lokalnya disebut ‘Liku’. Saat ini pohon dengen dan kelokan-kelokan sungai itu masih bisa disaksikan. Sebanyak 68 KK tercatat di sana yang secara asal-usul berasal dari rumpun To Tabang.
Di kampung Liku Dengen dapat dijumpai pengembangan usaha lebah madu ‘’Model Barak’’. Barak lebah ini sejenis bangunan rumah yang tidak berdinding, hanya ada tiang, papan alas yang memanjang , dan beratap anyaman daun sagu. Papan inilah dijadikan alas atau dudukan kotak-kotak lebah. Dalam satu barak berisi sedikitnya ada 20 kotak lebah.
Khusus di Liku Dengen, sudah 2 barak pemeliharaan lebah yang dibangun warga sesuai dengan jumlah kelompok peternak lebah trigona, yaitu kelompok Mitra Baru dan Kelompok Mekar. Masing-masing kelompok memiliki 1 barak. Itu khusus milik kelompok, selain itu, setiap warga juga memelihara untuk usaha sendiri. Paling sedikit, satu KK memiliki 10 kotak, bahkan beberapa KK mempunyai puluhan kotak lebah.
‘’Semua hasil panenan madu yang ada di barak itu diperuntukkan bagi kelompok. Sedangkan untuk usaha sendiri, masing-masing warga juga memelihara sendiri di rumahnya,’’ jelas Kepala Kampung Baru, Akis Nuru. Menurutnya, malah hasil panen madu usaha perorangan ini jauh lebih besar daripada hasil panen yang dikelola kelompok.
Setahun lebih warga menggeluti usaha lebah madu sebagai penopang ekonomi keluarga. Paling tidak, setiap kotak bisa menghasilkan 2-4 botol setiap kali panen. Harga perbotol (ukuran botol sirup ABC) Rp 40 ribu rupiah. Harga yang masih terbilang murah itu, sedikit mengganggu panenan madu. Mereka mau harga dinaikkan jadi Rp 60 ribu rupiah perkilogram.
Meski masa panen antara 3 bulan sampai 6 bulan, tetapi masa panen bisa saja dilakukan setiap bulan. Caranya, memasang kotak koloni secara bertahap setiap bulan. Misalnya, kalau memiliki 300 kotak, maka bisa diatur setiap bulan dipasang 100 kotak. Di bulan pertama 100 kotak, begitu selanjutnya, memasang 100 kotak di bulan kedua dan ketiga. Sehingga pada bulan keempat, sudah bisa memanen madu dari 100 kotak yang dipasang pada bulan pertama tadi. Begitu seterusnya. Menurut Akis Nuru, sudah ada warganya yang melakukan cara itu, dan kini kalkulasi berpenghasilannya sekitar Rp 4-5 juta-an perbulan dari usaha lebah madu trigona.
Keunggulan budidaya lebah ini karena tidak menyegat seperti lebah yang biasanya. Dalam ilmu zoologi lebah trigona termasuk Famili Meliponidae, salah satu spesies lebah penghasil madu. Pemanenan madunya tidak mengenal musim. Kerjanya pun terbilang mudah karena tidak butuh perawatan ekstra. Cukup memasukkan koloni dalam kotak, kemudian kotak tersebut digantung di samping-samping rumah.
Tahun 2014 ini, beberapa kampung di sekitar Liku Dengen menyatakan berminat untuk mengembangkan juga usaha madu lebah trigona, seperti Kampung Tuwu dan Kampung Katimbangan. Rencananya, tanggal 17 Februari 2014 lalu, bersama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Luwu Utara, akan memfasilitasi pembentukan satu kelompok lagi di Kampung Tuwu.
Dari aspek kelestarian ekologis, pemeliharaan lebah madu trigona berpengaruh penting bagi pemeliharaan hutan yang ada di sekitarnya. Keberlangsungan usaha lebah madu trigona akan bergantung pada ketersediaan bahan makanan lebah yang ada di dalam hutan. Kerusakan ekosistem hutan akan mempengaruhi menurunnya produksi madu. Sehingga secara langsung, budidaya lebah madu ini sangat berkontribusi menjaga dan melestarikan hutan. Ini bisa menjadi jaminan akan terpeliharanya tutupan hutan di Desa Uraso yang luasnya sekitar 396,50 hektar. ‘’Kalau hutan rusak maka akan kesulitan juga bagi warga untuk memperoleh koloni lebah yang umumnya hanya ada di dalam hutan,’’ tegas Kepala Kampung Baru Desa Uraso, Akis Nuru.
Hasil hutan yang cukup potensial, tidak membuat mereka harus mengeksploitasinya dengan serampangan karena komunitas To Tabang masih memegang aturan lokal yang melindungi hutan sebagai sumber kehidupan. Mengganggu hutan berarti mengganggu kehidupan mereka sendiri. Mereka terdorong mengembangkan usaha hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, sagu, dan bambu. Selain itu, mereka juga melakukan pemanfaatan pekarangan dan lahan dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, seperti lada. Dimulai dari beberapa orang sebagai pionir yang kini sudah memanen, selanjutnya dilakukan pemassalan dengan penanaman 1.500 bibit lada, selain tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan di pekarangan.
Yang menarik jadi pembelajaran dari Kampung Liku Dengen, Tuwu, dan Katimbangan adalah proses pembangunan kampung yang dilengkapi dengan Master Plan Kampung, dimana perumusan dan penyusunannya dilakukan oleh warga kampung. Dari dokumen itulah, mereka mengembangkan kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah membangun kampung berdasarkan cita-cita Master Plan Kampung yaitu, “Wanua Mappatuo Naewai Alena” atau ‘’Kampung yang Memberikan Kehidupan dan Mampu Mengatur Diri Sendiri.’’ Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar