LOMBOK UTARA, PrimadonaNews– Kabupaten Lombok Utara (KLU) sebagai salah satu daerah otonomi baru yang notabene terpetakan sebagai daerah yang rawan bencana alam seperti banjir dan longsor, karena memiliki ketinggian atau kondisi tanah diatas 60 persen atau antara 35 hingga 85 persen yang termasuk kawasan terjal dan berbukit. Sehingga diperlukan kewaspadaan atau kebersamaan dalam menyatukan persepsi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Kabupaten Lombok Utara, yang memiliki mott: Tiok – Tata – Tunaq , ini meliputi 5 kecamatan, 33 desa, 322 dusun, dikepung ancaman bencana alam. Bentang kenampakan alam lima kecamatan di KLU bak ”setengah wajan”: di belakang daratannya yang relatif sedikit ada lereng perbukitan dan hutan, dan di depannya ada laut.
Akibatnya, daerah dari barat ke timur, mulai pesisir Desa Malaka di Kecamatan Pamenang, tetangga obyek wisata Senggigi di Lombok Barat, Desa Medana di Kecamatan Tanjung, Desa Gondang di Kecamatan Gangga, Desa Selengen di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan, rawan longsor, banjir, serta air pasang.
Sulistiyono, Direktur Koslata NTB mengaku, gejala ini dampak dari perubahan iklim global selama 10 tahun terakhir ini di NTB sudah mulai terasa. Khususnya di KLU seringkali terjadi banjir dan longsor, seperti yang masih segar di ingatan kita kejadian longsor di awal tahun 2009 lalu, yang terjadi di Desa Bentek, Jenggala dan Gengelang dimana saat itu sungai Segara meluap, dan banjir bandang serta longsor di kawasan hutan Pandan Mas telah menelan kerugian rumah, ternak , jalan, jembatan dan irigasi rusak.
“”Disamping banjir dan longsor, ancaman bencana lainnya berupa kekeringan pada musim kemarau yang seringkali dialami wilayah Kecamatan Bayan sehingga terjadi rawan pangan. Demikian juga dengan gunung Rinjani sebagai gunung berapi yang masih aktif dapat saja meletus sewaktu-waktu”, kata Sulistiono.
Menurut Sulis, kejadian bencana yang seringkali terulang, membuat warga masyarakat korban menganggapnya sebagai hal yang lumrah. “Umumnya, warga masyarakat dan pemerintah hanya merespon setelah terjadi bencana, padahal bencana ini bisa dikurangi tingkat resikonya melalui upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan warga yang tinggal di daerah rawan bencana, serta mengurangi kerentanannya”, jelasnya.
Sulistiyono menawarkan solusi, karena mengingat kalangan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana merupakan pihak yang akan mengalami dampak langsungnya, maka upaya penanggulangannya harus berbasis masyarakat. “Artinya masyarakatlah yang menjadi aktor utama dalam melakukan identifikasi resiko bencana, penyusunan rencana serta pelaksanaan rencana tersebut”, tegasnya.
Untuk mengantisipasinya, Koslata bersama Oxfam (sebuah organisasi nonpemerintah), dan Pemerintah KLU menggelar program Penanggulangan Risiko Bencana (PRB) berbasis masyarakat yang disebut participatory capacity vurnerability analysis (PCVA) selama 2,5 tahun yang dimulai 2010. Kata Sulistio dari Koslata, PRB digelar di 10 desa, yakni Desa Salut, Gumantar, Mumbul Sari, Senaru, Pamenang Timur dan Barat, Tegal Maja, Jenggala, Bentek dan Rempek.
Tiap desa, sambung Sulistiono, diperkuat Tim Siaga Bencana yang berjumlah masing-masing 20 orang yang sudah dilatih Badan SAR Provinsi NTB. Tugas mereka meliputi penghijauan pada aliran sungai dan tempat rawan bencana dengan tanaman sengon, pohon beringin, dan tanaman konservasi lainnya. Mereka juga bertugas membuat jalur evakuasi secara gotong royong, dan peta titik rawan bencana yang dipasang pada tempat strategis di tiap desa/dusun. Mereka juga melakukan penyuluhan dan mobilisasi masyarakat agar tanggap bencana, memberikan pertolongan pertama, dan memandu penduduk melewati jalur evakuasi ke tempat aman.
Kabag Humas KLU, Drs. H. Akhmad Sujanadi, saat ditemui secara terpisah mengatakan, “Kita tetap terbuka pada semua pihak yang ingin membantu dan memberikan perubahan positif pada KLU, salah satunya pada program upaya antisipasi pencegahan bencana alam. Kita sangat welcome (terbuka-red), sekecil apapun informasi yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk membangun KLU akan menjadi masukan yang sangat besar dan berarti untuk menentukan langkah ke depan berikutnya.”
Jauhari, Kepala Desa Gondang mengatakan, bencana terjadi karena banyaknya lingkungan hutan kita yang dibabat oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab. “Bertruk-truk kayu diangkut oleh mobil ke luar KLU, namun belum ada tindakan nyata dari para petugas terkait, akibatnya banyak hutan kita yang gundul yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan bencana, entah itu longsor, banjir bandang atau bencana-bencana lainnya,” katanya.
Karenanya, Jauhari berharap kepada masyarakat dan petugas yang berwewenang untuk saling bahu-membahu menjaga hutan di KLU. “Jangan dengan alasan tidak ada sumber penghidupan, lalu hutan kita dibiarkan dibabat habis, toh juga kita yang akan menanggung resikonya,” tegasnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, SH, MH, mengatakan, sebagai warga Kabupaten Lombok Utara sepatutnya bangga , karena kita masih memiliki adat dan budaya lokal yang masih kental dalam menyelematkan alam dari pemenasan global yang menimpa seluruh dunia.
Menurut Najmul, pada zaman dahulu, bila memasuki hutan terlebih dahulu diberi sembek, dan tidak boleh membawa tali atau parang, karena disebut “pemalik” (larangan) yang tidak boleh dilanggar. “Saya sangat senang bila masuk ke pawang adat Semokan Desa sukadana, dimana amak lokaq cukup eksis menjaga hutannya, bahkan sampai kayu tumbangpun di hutan adat tersebut tidak boleh diambil,” ungkapnya.
Namun kearifan lokal seperti itu sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, malah sekarang ini setiap hari sinso masuk ke dalam hutan. Hal ini bukan masalah kecil, tapi ini adalah ancaman buat kita semua.
Dari data di provinsi Nusa tenggara Barat, bahwa luas lahan KLU, 80.942 ha. Dan bila dilihat luasnya cukup signifikan, dan potensi inilah yang harus diselamatkan. Dari jumlah ini terdapat sekitar 384 hektar masuk ke lahan sangat kritis dan 5.760 hektar masuk katagori kawasan lahan kering.
Berkaitan dengan peran media dalam melakukan sosialisasi dan membangun pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap bahaya dan kemungkinan terjadinya bencana, menurut pendapat Muhyin dati Lembaga Masyarakat Nelayan Lombok Utara (LMNLU), media memegang fungsi vital sebagai penyambung lidah Pemerintah dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan terkait masalah penanggulangan bencana.
“Mencermati geliat media di NTB khususnya di Lombok Utara, diperlukan suatu komitmen dari media untuk terus mengawal dan memberikan informasi terkait program-program kebencanaan, baik pra bencana, saat terjadi, serta pasca bencana. Khusus untuk wilayah KLU, topografi dan geografis pegunungan merupakan faktor yang menjadikan wilayah ini memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana”,pungkasnya. (ari)
Kabupaten Lombok Utara, yang memiliki mott: Tiok – Tata – Tunaq , ini meliputi 5 kecamatan, 33 desa, 322 dusun, dikepung ancaman bencana alam. Bentang kenampakan alam lima kecamatan di KLU bak ”setengah wajan”: di belakang daratannya yang relatif sedikit ada lereng perbukitan dan hutan, dan di depannya ada laut.
Akibatnya, daerah dari barat ke timur, mulai pesisir Desa Malaka di Kecamatan Pamenang, tetangga obyek wisata Senggigi di Lombok Barat, Desa Medana di Kecamatan Tanjung, Desa Gondang di Kecamatan Gangga, Desa Selengen di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan, rawan longsor, banjir, serta air pasang.
Sulistiyono, Direktur Koslata NTB mengaku, gejala ini dampak dari perubahan iklim global selama 10 tahun terakhir ini di NTB sudah mulai terasa. Khususnya di KLU seringkali terjadi banjir dan longsor, seperti yang masih segar di ingatan kita kejadian longsor di awal tahun 2009 lalu, yang terjadi di Desa Bentek, Jenggala dan Gengelang dimana saat itu sungai Segara meluap, dan banjir bandang serta longsor di kawasan hutan Pandan Mas telah menelan kerugian rumah, ternak , jalan, jembatan dan irigasi rusak.
“”Disamping banjir dan longsor, ancaman bencana lainnya berupa kekeringan pada musim kemarau yang seringkali dialami wilayah Kecamatan Bayan sehingga terjadi rawan pangan. Demikian juga dengan gunung Rinjani sebagai gunung berapi yang masih aktif dapat saja meletus sewaktu-waktu”, kata Sulistiono.
Menurut Sulis, kejadian bencana yang seringkali terulang, membuat warga masyarakat korban menganggapnya sebagai hal yang lumrah. “Umumnya, warga masyarakat dan pemerintah hanya merespon setelah terjadi bencana, padahal bencana ini bisa dikurangi tingkat resikonya melalui upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan warga yang tinggal di daerah rawan bencana, serta mengurangi kerentanannya”, jelasnya.
Sulistiyono menawarkan solusi, karena mengingat kalangan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana merupakan pihak yang akan mengalami dampak langsungnya, maka upaya penanggulangannya harus berbasis masyarakat. “Artinya masyarakatlah yang menjadi aktor utama dalam melakukan identifikasi resiko bencana, penyusunan rencana serta pelaksanaan rencana tersebut”, tegasnya.
Untuk mengantisipasinya, Koslata bersama Oxfam (sebuah organisasi nonpemerintah), dan Pemerintah KLU menggelar program Penanggulangan Risiko Bencana (PRB) berbasis masyarakat yang disebut participatory capacity vurnerability analysis (PCVA) selama 2,5 tahun yang dimulai 2010. Kata Sulistio dari Koslata, PRB digelar di 10 desa, yakni Desa Salut, Gumantar, Mumbul Sari, Senaru, Pamenang Timur dan Barat, Tegal Maja, Jenggala, Bentek dan Rempek.
Tiap desa, sambung Sulistiono, diperkuat Tim Siaga Bencana yang berjumlah masing-masing 20 orang yang sudah dilatih Badan SAR Provinsi NTB. Tugas mereka meliputi penghijauan pada aliran sungai dan tempat rawan bencana dengan tanaman sengon, pohon beringin, dan tanaman konservasi lainnya. Mereka juga bertugas membuat jalur evakuasi secara gotong royong, dan peta titik rawan bencana yang dipasang pada tempat strategis di tiap desa/dusun. Mereka juga melakukan penyuluhan dan mobilisasi masyarakat agar tanggap bencana, memberikan pertolongan pertama, dan memandu penduduk melewati jalur evakuasi ke tempat aman.
Kabag Humas KLU, Drs. H. Akhmad Sujanadi, saat ditemui secara terpisah mengatakan, “Kita tetap terbuka pada semua pihak yang ingin membantu dan memberikan perubahan positif pada KLU, salah satunya pada program upaya antisipasi pencegahan bencana alam. Kita sangat welcome (terbuka-red), sekecil apapun informasi yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk membangun KLU akan menjadi masukan yang sangat besar dan berarti untuk menentukan langkah ke depan berikutnya.”
Jauhari, Kepala Desa Gondang mengatakan, bencana terjadi karena banyaknya lingkungan hutan kita yang dibabat oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab. “Bertruk-truk kayu diangkut oleh mobil ke luar KLU, namun belum ada tindakan nyata dari para petugas terkait, akibatnya banyak hutan kita yang gundul yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan bencana, entah itu longsor, banjir bandang atau bencana-bencana lainnya,” katanya.
Karenanya, Jauhari berharap kepada masyarakat dan petugas yang berwewenang untuk saling bahu-membahu menjaga hutan di KLU. “Jangan dengan alasan tidak ada sumber penghidupan, lalu hutan kita dibiarkan dibabat habis, toh juga kita yang akan menanggung resikonya,” tegasnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, SH, MH, mengatakan, sebagai warga Kabupaten Lombok Utara sepatutnya bangga , karena kita masih memiliki adat dan budaya lokal yang masih kental dalam menyelematkan alam dari pemenasan global yang menimpa seluruh dunia.
Menurut Najmul, pada zaman dahulu, bila memasuki hutan terlebih dahulu diberi sembek, dan tidak boleh membawa tali atau parang, karena disebut “pemalik” (larangan) yang tidak boleh dilanggar. “Saya sangat senang bila masuk ke pawang adat Semokan Desa sukadana, dimana amak lokaq cukup eksis menjaga hutannya, bahkan sampai kayu tumbangpun di hutan adat tersebut tidak boleh diambil,” ungkapnya.
Namun kearifan lokal seperti itu sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, malah sekarang ini setiap hari sinso masuk ke dalam hutan. Hal ini bukan masalah kecil, tapi ini adalah ancaman buat kita semua.
Dari data di provinsi Nusa tenggara Barat, bahwa luas lahan KLU, 80.942 ha. Dan bila dilihat luasnya cukup signifikan, dan potensi inilah yang harus diselamatkan. Dari jumlah ini terdapat sekitar 384 hektar masuk ke lahan sangat kritis dan 5.760 hektar masuk katagori kawasan lahan kering.
Berkaitan dengan peran media dalam melakukan sosialisasi dan membangun pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap bahaya dan kemungkinan terjadinya bencana, menurut pendapat Muhyin dati Lembaga Masyarakat Nelayan Lombok Utara (LMNLU), media memegang fungsi vital sebagai penyambung lidah Pemerintah dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan terkait masalah penanggulangan bencana.
“Mencermati geliat media di NTB khususnya di Lombok Utara, diperlukan suatu komitmen dari media untuk terus mengawal dan memberikan informasi terkait program-program kebencanaan, baik pra bencana, saat terjadi, serta pasca bencana. Khusus untuk wilayah KLU, topografi dan geografis pegunungan merupakan faktor yang menjadikan wilayah ini memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana”,pungkasnya. (ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar