Selasa, 10 Januari 2012

DPRD DORONG PROSES PIDANA PELAKU KEKERASAN BIMA

Mataram, PrimadonaNews  10/1  - Komisi I DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat mendorong proses pidana terhadap pelaku kekerasan yang terjadi saat pembubaran paksa unjuk rasa di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, 24 Desember 2011.

"Siapa pun yang melakukan tindak kekerasan saat pembubaran paksa unjuk rasa di Bima itu, harus dipidanakan, termasuk anggota polisi yang terbukti bersalah dan baru dikenakan pelanggaran disiplin," kata Ketua Komisi I DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H Ali Ahmad, di Mataram, Selasa.
   
Ali yang didampingi anggota Komisi I lainnya, mengacu kepada laporan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (HAM) yang menemukan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan polisi saat menangani aksi warga di Bima.
   
Berdasarkan hasil investigasi, Komnas HAM pun sudah meminta polisi untuk menindaklanjuti dan bertindak tegas terhadap anggotanya yang terbukti melakukan kesalahan.
   
"Bukan informasi lagi kalau sudah jelas masalahnya, pelaku kekerasan di Bima itu harus ditindak tegas, karena berbagai elemen masyarakat bisa marah dan beraksi," ujarnya.
   
Menurut Ali, tindak pidana kekerasan yang mencuat dalam aksi pembubaran paksa unjuk rasa di Bima itu, cukup jelas karena terekam video yang kemudian ditayangkan di berbagai televisi nasional.
   
Polri sebagai salah satu institusi penegakan hukum, harus menunjukkan sikap transparansi dalam proses hukum, agar tidak menimbulkan praduga-praduga lain yang dapat mendiskreditkan Kepolisian Republik Indonesia.
   
"Kalau tidak diproses pidana terhadap pelaku kekerasan, maka sangat mungkin akan timbul aksi massa untuk mendesak polri. DPR dari pusat hingga kabupaten tentu tidak bisa tinggal diam karena berkaitan dengan penegakan supremasi hukum," ujarnya.
   
Pada 24 Desember 2011, aparat Polresta Bima (wilayah hukumnya termasuk sebagian Kabupaten Bima) yang didukung Satuan Brimob Polda NTB, membubarkan paksa aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, yang telah berlangsung sejak 19 Desember 2011.
   
Pelabuhan Sape berlokasi di Kecamatan Sape, namun warga pengunjuk rasa yang menguasai kawasan itu merupakan penduduk Kecamatan Lambu, yang melakukan aksi protes terhadap usaha penambangan di wilayah Lambu.   
   
Polisi menghalau pengunjuk rasa dengan tembakan hingga dua orang  tewas terkena peluru, dan puluhan warga pengunjuk rasa lainnya luka-luka. Selain penembakan, polisi juga menganiaya sejumlah warga pengunjuk rasa.
   
Namun, pada 5 Januari 2012, lima orang anggota polisi yang terbukti bersalah dalam sidang pelanggaran disiplin yang digelar di Mapolda NTB, hanya dikenakan sanksi peringatan tertulis, penundaan pendidikan dan dikurung di tempat khusus selama tiga hari.
   
Sidang pelanggaran disiplin yang terbuka untuk umum itu berlangsung di ruang Rupatama Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), dipimpin Direktur Binmas Polda NTB Kombes Pol Suwarto.
   
Kelima anggota polisi itu masing-masing empat orang dari Satuan Brimob Polda NTB dan seorang dari Polresta Bima yakni Briptu I Made Suarjana, (Satintel Polresta Bima)
   
Empat orang anggota Brimob Polda NTB itu yakni Bripda Fauzi (anggota Kompi IV Brimob di Bima), Bripta Fatwa (anggota Kompi IV Brimob Bima), Briptu Adi Nata (Satintel Brimob Polda NTB) dan Briptu Ida Bagus Juli Putra (Satintel Brimob Polda NTB).
   
Bertindak sebagai penuntut dalam persidangan itu yakni tiga orang perwira pertama dari Bidang Propam Polda NTB, masing-masing AKP I Wayan Putra, AKP Lalu Suaib Husein, dan AKP Edy S.
   
Setiap terperiksa yang disidangkan didampingi seorang perwira, yang menjadi atasan langsungnya di kesatuan.
   
Dalam persidangan tersebut, kelima anggota polisi itu dikategorikan melanggar pasal 3 huruf g dan pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Polri.
   
Bripda Fauzi dituduh memukul warga dengan popor senjata di bagian perut, sehingga ia dituntut sanksi peringatan tertulis, penundaan pendidikan selama enam bulan, dan ditempatkan dalam kurungan khusus selama tujuh hari.
   
Namun, vonisnya lebih ringan yakni teguran tertulis, pendidikannya ditunda selama tiga bulan, dan dikurung di tempat khusus selama tiga hari.
   
Sementara Briptu Fatwa dituduh telah menendang pantat warga. Tuntutannya sama dengan Bripda Fauzi namun vonisnya lebih ringan yakni teguran tertulis, penundaan pendidikan selama satu bulan, dan ditempatkan di ruang khusus selama tiga hari.
   
Sedangkan Briptu Ida Bagus Juli Putra juga dituduh memukul warga, sehingga tuntutannya pun sama, namun ia divonis teguran tertulis, tiga bulan penundaan pendidikan dan kurungan selama tiga hari.
   
Dua terperiksa lainnya masing-masing Briptu I Made Suarjana, dan Briptu Adi Nata, dituntut sanksi yang sama, dan  divonis  sama, yakni hukuman kurungan khusus selama tiga hari, selain teguran tertulis dan tiga bulan penundaan pendidikan. (antaramataram)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar