MATARAM, PrimadonaNews - Tujuh orang tersangka tindak pidana terorisme di Kabupaten Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat, segera dibawa ke Banten untuk menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, sesuai arahan Mahkamah Agung.
"Pekan depan kami bawa ketujuh tersangka terorisme itu ke Tangerang, Banten, dan sudah dikoordinasikan pola pengamanannya," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Salim, di Mataram, Jumat.
Ia mengatakan, Kapolda NTB Brigjen Pol Arief Wachyunadi, sudah menyatakan kesiapannya untuk mengamankan pemindahan tujuh tersangka terorisme itu dari Mataram, Provinsi NTB, ke Tangerang, Provinsi Banten.
Keputusan untuk membawa tersangka beserta barang bukti terorisme itu ke Banten itu, ditempuh setelah permohonan agar perkara itu disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram, tidak dikabulkan Mahkamah Agung.
Permohonan agar persidangannya digelar di Mataram, dimaksudkan agar tidak terjadi pemborosan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp1 miliar lebih.
Selain itu, pekerjaan aparat Kejati NTB menjadi lebih berat karena harus menghadirkan 70 orang saksi yang didatangkan dari Bima ke Tangerang.
"Kalau sidangnya di sini, ada penghematan uang negara secara signifikan, waktu banyak tersita, dan tentu ada pengaruhnya terhadap kinerja aparat kejaksaan di NTB yang dituntut untuk tetap bekerja keras. Tapi, sudah kami koordinasikan dan seluruh biayanya akan ditanggung kejaksaan, dana kami kurang dan akan ditambah oleh Kejaksaan Agung," ujarnya.
Kini, kata Salim, materi dakwaan sudah rampung 100 persen sehingga tinggal didorong ke Tangerang untuk disidangkan.
Kejati NTB mulai menangani perkara tindak pidana terorisme itu sejak pelimpahan berkas perkara tahap I dari penyidik Polda NTB pada 29 September 2011, dan setelah beberapa kali melakukan perbaikan berkas perkara, akhirnya dinyatakan lengkap (P21) pada 10 Nopember 2011.
Pada 15 Nopember 2011, Polda NTB yang diwakili Direktur Reserse dan Kriminal Umum (Direskrimum) Polda NTB Kombes Pol Harry, menyerahkan berkas perkara tahap II berupa tersangka dan barang bukti tindak pidana terorisme, yang diterima Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi NTB Anwaruddin Sulistyono.
Ketujuh tersangka itu masing-masing Ustadz Abrory M Ali alias Maskadov alias Abrory alias Ayyubi (27), Sa'ban A. Rahman alias Umar Sa'ban bin Abdurrahman (18), Rahmat Ibnu Umar alias Rahmat bin Efendi (36), Rahmat Hidayat (22), Mustakim Abdullah alias Mustakim (17), Asrak alias Tauhid alias Glen (23) dan Furqan (24).
Abrori merupakan pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Khilafiah Umar Bin Khatab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, yang dijadikan tersangka terkait ledakan bom rakitan di ponpes itu pada 11 Juli 2011.
Ledakan bom rakitan di salah satu ruangan dalam Ponpes Khilafiah Umar bin Khatab itu, menewaskan seorang pengurus ponpes yakni Suryanto Abdullah alias Firdaus.
Sementara Sa'ban teridentifikasi membunuh anggota Polsek Bolo Brigadir Rohkman Saefuddin, pada 30 Juni 2011, yang berindikasi terorisme.
Sa'ban membunuh anggota Polsek Bolo itu dengan cara mendatangi Markas Polsek Bolo berpura-pura hendak memberikan laporan, kemudian melakukan penikaman ketika anggota polisi itu lengah.
Sedangkan lima orang tersangka lainnya merupakan pengurus dan santri ponpes itu yang juga teridentifikasi terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Ketujuh tersangka itu dijerat dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam, serta tindak pidana pembunuhan.
Sementara barang bukti terkait tindak pidana terorisme, yang diserahkan penyidik Polda NTB itu selain bahan peledak, senjata tajam, bom molotov dan bom rakitan lainnya, juga satu unit sepeda motor dan satu unit mobil angkutan umum. Sumber: antaramataram.com
"Pekan depan kami bawa ketujuh tersangka terorisme itu ke Tangerang, Banten, dan sudah dikoordinasikan pola pengamanannya," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Salim, di Mataram, Jumat.
Ia mengatakan, Kapolda NTB Brigjen Pol Arief Wachyunadi, sudah menyatakan kesiapannya untuk mengamankan pemindahan tujuh tersangka terorisme itu dari Mataram, Provinsi NTB, ke Tangerang, Provinsi Banten.
Keputusan untuk membawa tersangka beserta barang bukti terorisme itu ke Banten itu, ditempuh setelah permohonan agar perkara itu disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram, tidak dikabulkan Mahkamah Agung.
Permohonan agar persidangannya digelar di Mataram, dimaksudkan agar tidak terjadi pemborosan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp1 miliar lebih.
Selain itu, pekerjaan aparat Kejati NTB menjadi lebih berat karena harus menghadirkan 70 orang saksi yang didatangkan dari Bima ke Tangerang.
"Kalau sidangnya di sini, ada penghematan uang negara secara signifikan, waktu banyak tersita, dan tentu ada pengaruhnya terhadap kinerja aparat kejaksaan di NTB yang dituntut untuk tetap bekerja keras. Tapi, sudah kami koordinasikan dan seluruh biayanya akan ditanggung kejaksaan, dana kami kurang dan akan ditambah oleh Kejaksaan Agung," ujarnya.
Kini, kata Salim, materi dakwaan sudah rampung 100 persen sehingga tinggal didorong ke Tangerang untuk disidangkan.
Kejati NTB mulai menangani perkara tindak pidana terorisme itu sejak pelimpahan berkas perkara tahap I dari penyidik Polda NTB pada 29 September 2011, dan setelah beberapa kali melakukan perbaikan berkas perkara, akhirnya dinyatakan lengkap (P21) pada 10 Nopember 2011.
Pada 15 Nopember 2011, Polda NTB yang diwakili Direktur Reserse dan Kriminal Umum (Direskrimum) Polda NTB Kombes Pol Harry, menyerahkan berkas perkara tahap II berupa tersangka dan barang bukti tindak pidana terorisme, yang diterima Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi NTB Anwaruddin Sulistyono.
Ketujuh tersangka itu masing-masing Ustadz Abrory M Ali alias Maskadov alias Abrory alias Ayyubi (27), Sa'ban A. Rahman alias Umar Sa'ban bin Abdurrahman (18), Rahmat Ibnu Umar alias Rahmat bin Efendi (36), Rahmat Hidayat (22), Mustakim Abdullah alias Mustakim (17), Asrak alias Tauhid alias Glen (23) dan Furqan (24).
Abrori merupakan pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Khilafiah Umar Bin Khatab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, yang dijadikan tersangka terkait ledakan bom rakitan di ponpes itu pada 11 Juli 2011.
Ledakan bom rakitan di salah satu ruangan dalam Ponpes Khilafiah Umar bin Khatab itu, menewaskan seorang pengurus ponpes yakni Suryanto Abdullah alias Firdaus.
Sementara Sa'ban teridentifikasi membunuh anggota Polsek Bolo Brigadir Rohkman Saefuddin, pada 30 Juni 2011, yang berindikasi terorisme.
Sa'ban membunuh anggota Polsek Bolo itu dengan cara mendatangi Markas Polsek Bolo berpura-pura hendak memberikan laporan, kemudian melakukan penikaman ketika anggota polisi itu lengah.
Sedangkan lima orang tersangka lainnya merupakan pengurus dan santri ponpes itu yang juga teridentifikasi terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Ketujuh tersangka itu dijerat dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam, serta tindak pidana pembunuhan.
Sementara barang bukti terkait tindak pidana terorisme, yang diserahkan penyidik Polda NTB itu selain bahan peledak, senjata tajam, bom molotov dan bom rakitan lainnya, juga satu unit sepeda motor dan satu unit mobil angkutan umum. Sumber: antaramataram.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar